Minggu, 25 September 2011 sekitar jam 11.30 saya dikagetkan dengan informasi dari teman mengenai peristiwa bom bunuh diri yang berlangsung di GBIS Kepunton Solo. Berdasarkan informasi yang saya peroleh jumlah korban jiwa baru 1 orang (mudah-mudahan cuma 1) yaitu pelaku pemboman sementara korban luka lainnya segera dilarikan ke RSU Dr Moewardi. Dan seperti aksi terorisme lainnya di Indonesia, TIDAK ADA satu pihak pun yang berani bertanggung jawab dengan perbuatan ini. Hal ini berbanding terbalik dengan aksi terorisme di luar negeri dimana pelaku akan langsung mengakui dan bertanggung jawab terhadap aksinya.
Setelah diselidiki ternyata pelaku pemboman ini adalah Ahmad Yosepa. Pria kelahiran Cirebon, 19 Oktober 1980 ini memiliki nama asli Pino Damayanto. Namun karena sering sakit-sakitan, keluarga mengganti nama Pino Damayanto menjadi Ahmad Urip. Ia juga punya nama lain yani Hayat alias Raharjo. Pino Damayanto ini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) karena menyerang Alfamart di Cirebon, 19 September 2010. Menurut keterangan polisi, Pino ikut hadir pada prosesi pemakaman Muchammad Syarif yang mengebom masjid Az-Zikro, 15 April 2011. (timlo.net)
Credit:detik.com
Peristiwa pemboman ini tentu saja bukan yang pertama dan yang terakhir terjadi di Indonesia. Saya percaya beberapa wilayah di Indonesia akan menjadi target operasi selanjutnya. Tujuannya cuma satu menciptakan Indonesia tidak aman!.
Sayang sekali, menurut saya polisi yang memiliki Densus 88 (Unit khusus untuk anti teroris) ternyata seringkali kecolongan dengan aksi terorisme seperti bom bunuh diri atau kerusuhan di Solo. Hal ini dipertegas dengan pernyataan SBY yang mengatakan bahwa pihak intelijen telah diberikan peringatan (detik.com). Sebagian besar masyarakat pun akhirnya mulai mempertanyakan bagaimana kinerja aparat keamanan (baik kepolisian dan Badan Intelejen Negera(BIN)) dalam menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat Indonesia.
Sebagai masyarakat kita memang tidak bisa mencegah aksi terorisme. Berharap pada aparat keamanan di negeri ini pun seperti halnya menegakkan benang basah dan justru menimbulkan opini-opini baru yang menyudutkan aparat keamanan. Namun, sebagai masyarakat kita bisa mencegah timbulnya dampak dari aksi terorisme ini yaitu konflik atau kerusuhan masyarakat baik antar agama, suku, ras, maupun golongan.
Langkah pencegahan tersebut sangatlah sederhana yaitu dialog dan interaksi.
Dialog antar agama, suku, ras, maupun golongan sangatlah penting dilakukan agar masing-masing pihak tidak terjebak dalam pemahaman yang berbeda mengenai pihak lain. Sebagai contoh pihak Kristen mungkin merasa terganggu dengan suara keras saat adzan demikian juga pihak Islam mungkin juga terganggu ketika hari Minggu sebagai hari libur justru berisik mendengar orang Kriten beribadah atau jalanan macet karena orang Kristen pergi beribadah. Hal-hal seperti itu dapat diselesaikan dengan dialog terbuka. Terbuka di sini maksudnya masing-masing pihak mau membuka hati berusaha mencari titik temu atau minimal pengetahuan mengapa mereka seperti itu. Bila tujuan dialog hanya untuk menyalahkan pihak lain maka dapat dipastikan dialog tersebut telah gagal.
Sedangkan interaksi ialah menjalin hubungan baik dengan pihak yang berbeda. Dengan terjalinnya hubungan yang baik ini secara tidak langsung akan muncul dialog terbuka yang berujung pada pandangan yang benar mengenai pihak yang lain.
Bagaimana kita bisa akur dan rukun bila kita tidak pernah berinteraksi dengan orang yang berbeda suku, agama, ras, atau golongan dengan kita? Oleh karena itulah interaksi itu perlu dibangun bahkan sejak kecil.
Ada begitu banyak langkah praktis yang bisa dilakukan masyarakat untuk mewujudkan dialog dan interaksi tanpa harus melibatkan pemerintah pusat maupun daerah. Beberapa langkah-langkah praktis tersebut antara lain berupa:
Dialog:
Mengadakan sarasehan atau dialog antar umat beragama dalam membahas kejadian yang sedang aktual di masyarakat atau kejadian penting lainnya yang terjadi di masyarakat. Dialog ini tidak harus secara langsung membahas masalah agama, misalnya mengapa umat Islam harus naik haji melainkan bisa peristiwa aktual atau peristiwa yang penting bagi masyarakat. Misalnya: terorisme dari sudut pandang agama, pornografi dari sudut pandang agama, HIV dan Narkoba dari sudut pandang agama. Dengan dialog seperti ini diharapkan masyarakat memiliki pemahaman kalau agama atau keyakinan lain juga memiliki sikap yang sama dengan agama atau keyakinannya terhadap suatu kasus. Dengan demikian pandangan negatif tersebut dapat terkikis.
Mengadakan dialog dengan warga mengenai pendirian tempat ibadah dan kegiatan keagamaan. Tujuan dari kegiatan ini sebenarnya lebih ke arah ‘nguwongke’ atau menghargai warga sekitar. Beberapa kasus pendirian tempat ibadah biasanya berlangsung begitu saja tanpa pernah ‘meminta ijin’ warga yang wilayahnya akan dijadikan sebagai tempat ibadah. Dengan membuka dialog akan lebih mendekatkan tempat ibadah dengan warga dalam pengertian pengguna tempat ibadah akan merasa mereka bagian dari lingkungan tersebut dan sebaliknya warga juga menganggap tempat ibadah itu bagian dari lingkungannya. Dengan demikian ketika ada konflik yang mempermasalahkan keberadaan suatu tempat ibadah, warga sekitar tidak mudah terprovokasi dan justru melindungi tempat ibadah tersebut karena menginginkan ketentraman di lingkungannya.
Interaksi:
Mengadakan kerja bakti antar pemeluk umat beragama. Kerja bakti tidak harus membersihkan rumah ibadah agama tertentu namun bisa membersihkan lingkungan. Dengan kerja bakti ini maka akan tercipta interaksi antar pemeluk umat beragama sekaligus mengkikis pandangan miring terhadap agama lain.
Mengadakan usaha bersama antar pemeluk umat beragama. Selain untuk mempererat tali persaudaraan warga hal ini juga dapat membantu meningkatkan taraf hidup warga. Usaha bersama misalnya kerajinan tangan, membuat makanan ringan, tas, sepatu atau usaha bersama lainnya. Tentu saja perlu dipikirkan juga kemana barang tersebut dijual dan bagaimana pembagian keuntungannya.
Mengajak anak melakukan kunjungkan ke tempat ibadah atau tempat bersejarah lainnya. Hal ini untuk menanamkan semangat kebersamaan sejak dini pada diri anak-anak sehingga mereka menyadari bahwa mereka diciptakan dalam keberagaman.
Namun semua kegiatan di atas tidak ada gunanya bila kita sebagai pribadi justru enggan melakukan dialog atau interaksi dengan masyarakat yang berbeda status dengan kita. Selalu mengikuti acara lingkungan, menyapa warga yang kita lewati, mengucapkan selamat hari raya kepada warga yang berlain agama, tidak melarang anak kita berteman dengan anak yang berbeda agama, mengingatka tetangga untuk tetap beribadah merupakan sedikit dari sekian banyak contoh sederhana yang tidak boleh kita tinggalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Semoga dengan menciptakan dialog terbuka dan interaksi yang baik tidak hanya mencegah tujuan dari aksi terorisme melainkan juga mengembalikan sifat asli penduduk Indonesia yang konon katanya ramah dan tamah.
artikel yang bagus mas bro..salam kenal ya..kunjung balik donk..maksih
qta semua harus berperang melwan teroris,…. pokoknya semua umat beragama harus merapatkan barisan..setuju..mampir gan
teroris iitu nyesatin … dalih-dalih agama islam.. emang ni zaman , zaman zahikiyah x.
Betul itu.. kita harus saling menghargai dan toleransi antar umat beragama.
dan sebenarnya , kalau kita sada betul apa yang tlah kita lakukan slama ini.? pasti kejadian ini nggak akan terulang.?