Saat Anak dan Ibuku Sakit

Sabtu, 21 Maret 2009 kemarin merupakan hari yang berat bagi keluargaku. Anakku badannya panas sejak pagi, sempat turun tapi sebentar kemudian naik lagi begitu berulang kali sampai sore. Selesai berobat aku mendapatkan sms dari bu Yayuk tetanggaku di Solo kalau aku diminta untuk pulang sebab ibu sakit. Karuan saja aku bingung dengan sms tersebut. Anakku sakit eh ibu juga sakit.

Segera aku menelepon bu Yayuk (yang mengangkat suaminya pak Pardi), dari beliau aku mendapat penjelasan kalau ibu maagnya kumat tapi sudah berobat. Aku kemudian menceritakan kepada istriku mengenai situasi yang sedang terjadi dan berusaha mencari jalan keluar. Belum selesai berbicara aku ditelpon lagi. Kali ini dari tetanggaku yang lain, ia bilang kalau ibu seharian gak keluar rumah dan gak tau kondisinya sekarang gimana. Wakss tambah gawat nih…

Aku kembali menelpon pak Pardi untuk memastikan bagaimana kondisi ibu sekarang, beliau mengatakan ibu tidak apa-apa tadi sudah berobat. Ah sedikit lega.

Terus terang aku bingung dengan kondisi ini, di sini anakku sakit, di sana (Solo) ibuku yang sakit dan beliau seorang diri di sana. Kalau aku menemani istriku untuk mengurus Aimee ntar kasian ibu, tapi kalau aku ke Solo kasian istriku. Pie ki…

Ibu (mertua) akhirnya menyarankan agar aku ke Solo saja. Untuk Aimee biar beliau dan istriku yang ngurusi. Sebenarnya sih bukan saran, karena disertai ancama kalau beliau gak rela kalau aku gak pulang menemani ibu.

Dengan perasaan pedih, karena melihat Aimee yang semakin panas dan kelihatan sekali kalau sakit, aku tinggalkan Aimee untuk menemani mbahnya yang juga sedang sakit.

Sampai di Solo, tetangga sekitar segera memberitahu bagaimana situasinya. Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi sejenak aku segera masuk rumah (tentu saja mengetuk pintu donk).

Aku lihat ibu tampak lemas sekali. Beliau bercerita kalau badannya gemetar dan kena diare. Aku menyarankan agar beliau banyak makan, sedikit tidak apa-apa asal sering.

Esoknya ibu masih tampak lemas tapi beliau memilih untuk lebih banyak tidur untuk memulihkan kondisinya. Aku pun mengambil alih untuk mengurusi rumah. Semua yang bisa kukerjakan segera kukerjakan agar tidak ada beban untuk ibu. Tidak lupa aku selalu menyarankan ibu untuk memperbanyak makannya. Tidak harus banyak, sedikit tidak apa-apa asalkan sering. Karena itulah yang akan menjadi kekuatan bagi ibu.

Hampir setiap ada kesempatan aku kontak istriku menanyakan bagaimana kabar Aimee. Dari waktu ke waktu aku selalu mendapat info kalau Ime belumlah sembuh. Bahkan istriku juga mengeluh karena dia tidak beristirahat mengurusi Ime. Aku bisa memaklumi hal itu.

Sementara ibu sendiri juga belum pulih benar tapi sudah ada sedikit peningkatan. Istriku menyarankan kalau ibu belum sehat sebaiknya aku tetap menemani beliau, biar Ime dia yang ngurusi.

Tentu saja aku bingung, aku kasihan karena istriku pasti lelah ngurusi Aimee yang katanya rewel. Sementara ibu di sini sendiri tidak ada teman. Tapi akhirnya aku putuskan untuk pulang di sore hari dan menitipkan ibu ke tetangga.

Sampai di rumah, selesai mandi, segera kugendong Aimee dan menenangkan dia. Istriku sendiri langsung tertidur karena kecapekan.

Ime menderita penyakit Mulut Kaki dan Tangan yang membuat tangan dan kakinya keluar bintul-bintul merah dan pada mulutnya juga keluar bintul tersebut. Akibatnya dia gak mau minum ASI karena akan terasa sakit.

Baru di hari Selasa, Ime sudah mulai agak sehat dan kembali ‘kruncil’ seperti biasanya. Di hari yang sama Ibu juga telepon kalau badannya sudah mulai sehat.

Entahlah apakah ini kebetulan saja, ibu dan Ime sakit dan sembuhnya bersamaan. Atau karena ibu kangen Ime dan juga sebaliknya. Yang penting bagiku mereka semua telah sehat.

5 thoughts on “Saat Anak dan Ibuku Sakit”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *