Tetanggaku adalah seorang tukang kebun alias penjaga sebuah sekolah dasar. Anaknya kebetulan juga sekolah di tempat itu. Sempat terlintas dalam pikiranku, bagaimana ya perasaan anaknya kalau tahu bahwa ayahnya hanyalah penjaga SD tersebut.
“Biasa saja tuh”, jawab istriku menjawab pertanyaanku.
“Ya kalau di desa mungkin biasa sih, soalnya yang lain kebanyakan ayahnya juga menjadi petani atau pedagang,” sahutku, “tapi bagaimana kalau di kota?”
“Wah kalau itu gak tahu, bisa saja malah jadi beban mental sebab ayahnya hanya menjadi tukang sekolah.”
Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari profesi seorang ayah dapat mempengaruhi mental seorang anak. Anak biasanya akan membanggakan profesi ayahnya. Mereka tidak begitu peduli jadi apa ayahnya asalkan ada sesuatu yang bisa mereka banggakan itu sudah cukup.
Ambil contoh seorang anak tetap bangga memiliki ayah seorang petani karena ia tahu ayahnya seorang pekerja keras.
Hanya saja pergaulan dengan teman-temannya yang mengukur prestasi seorang ayah dari sisi uang sering mempengaruhi pola pikir anak tersebut. Anak-anak akan bangga jika orang tuanya sanggup membelikan apa saja yang ia mau. Sebaliknya mereka akan dikucilkan bila orang tuanya hanya seorang miskin.
Akibatnya beberapa anak yang tidak kuat mentalnya bisa minder bahkan mulai menyalahkan orang tuanya kenapa ayahnya hanya berprofesi seperti ini.
Kondisi seperti ini dapat dihindari dengan pemahaman sejak dini bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dengan uang melainkan dengan keharmonisan keluarga. Anak juga perlu tahu apa yang bisa mereka banggakan dari keluarganya dan tidak hanya menuntut saja. Mereka harus dibiasakan untuk hidup cukup dengan uang yang mereka miliki.
Sudah memang mengajari anak supaya tidak terbawa arus negatif pergaulan teman-temannya. Tetapi dengan niat dan kegigihan semuanya pasti bisa dilakukan.
nice artikle…
thnks infonya sob bisa dijadiin refesensi nich sob….
semangat terus untuk nge blog sob….
sukses selalu yah…
MERDEKA….MERDEKA….MERDEKA